Selasa, 29 Maret 2011

Peran Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pendahuluan

Tanggal 24 Mei 2008 kemarin, rakyat Indonesia telah diberi “hadiah” oleh pemerintah Indonesia berupa kenaikan BBM sebesar 30%. Di tengah penderitaan dan beban hidup yang sudah sangat berat, rakyat Indonesia harus mendapatkan tambahan beban yang semakin berat lagi. Jika keadaan ini terus-menerus berlangsung di negeri ini, bukan tidak mungkin tahun 2020 kelak, negara Indonesia benar-benar akan terbebas dari kemiskinan. Artinya, di negeri ini benar-benar sudah tidak ada penduduk yang miskin lagi. Mengapa? Sebab, penduduk miskin di Indonesia benar-benar sudah meninggal semuanya!

Ini semua tentu saja adalah sebuah ironisme! Mengapa? Indonesia adalah negara produsen minyak. Indonesia memiliki banyak sumur minyak dengan kandungan minyak mentahnya yang sangat besar. Oleh karena itu, seharusnya dengan kenaikan harga minyak dunia yang sudah melangit ini, negara Indonesia dapat menjadi negara yang kaya raya. Setiap hari rakyat Indonesia bisa kebanjiran dolar. Namun, mengapa yang terjadi adalah sebaliknya? Sekali lagi, sungguh ironis!

Fenomena di atas tentu saja merupakan sebagian kecil ironisme yang terjadi di Indonesia. Masih banyak ironisme lain yang terjadi di Indonesia. Di negeri yang memiliki julukan “zamrud di katulistiwa” ini, rakyatnya harus banyak yang mati kelaparan. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak hanya berupa minyak bumi. Negeri kita telah dikaruniai oleh Allah SWT dengan limpahan tambang dan mineral, beragam sumber energi, berjuta sumber kekayaan hayati, ditambah lagi dengan pesona alamnya yang sangat elok. Indonesia sangat layak untuk disebut sebagai “surga” katulistiwa, yang ribuan pulaunya membentang dari Sabang sampai Merauke. Sekali lagi, mengapa rakyatnya harus hidup seperti ditengah-tengah kobaran api “neraka”?

Makalah ini akan berupaya untuk mengungkap fenomena ini, terutama dalam sorotannya terhadap pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang ada di Indonesia. Tulisan ini akan berangkat dengan sedikit analisis dengan pendekatan teori mikro dan makro ekonomi terhadap fenomena SDA. Dari pendekatan analisis ini, diharapkan kita dapat memahami bagaimana dampak yang akan diakibatkan jika pengelolaan SDA ini salah alamat. Pada bagian berikutnya, makalah ini akan berupaya untuk menunjukkan bagaimana pengelolaan SDA yang benar. Dengan pengelolaan SDA yang benar, diharapkan benar-benar akan memberikan keadilan dan kesejahteraan secara nyata bagi segenap rakyat Indonesia. Bukan hanya basa-basi.

Sumber Daya Alam dalam Tinjauan Ekonomi Mikro

Sumber daya alam merupakan sumber daya yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Manusia dapat hidup dan menjalani kehidupan di dunia ini sangat bergantung kepada sumber daya alam. Terlebih lagi sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Keberadaan sumber daya ini sudah dapat disejajarkan dengan kebutuhan primer manusia yang lain, contohnya seperti sumber daya air, sumber daya energi, sumber daya hutan, dsb. Oleh karena itu, jika dalam masyarakat manusia terjadi kelangkaan sumber daya alam ini, maka akan menyebabkan manusia mengalami kesulitan hidup. Hal itu akan dapat memaksa manusia untuk berpindah tempat atau melalang buana ke tempat-tempat lain demi memperoleh sumber daya ini.

Dalam tinjauan ekonomi mikro, setiap komoditas yang banyak dibutuhkan manusia, yang menguasai hajat hidup orang banyak, dapat dikategorikan sebagai komoditas yang bersifat inelastis. Komoditas yang bersifat inelastis maknanya adalah, seberapapun harga yang berlaku terhadap komoditas ini, maka masyarakat akan tetap membelinya dalam jumlah yang relatif sama. Oleh karena itu, seberapapun kenaikan harga yang akan terjadi pada komoditas ini, jumlah permintaan terhadap komoditas ini akan relatif tetap.

Komoditas yang bersifat inelastis, jika digambarkan dalam bentuk kurva permintaan, maka bentuk kurvanya akan memiliki slope (kemiringan) yang bersifat tajam atau curam.

Jika kita memahami bahwa sumber daya alam adalah termasuk dalam kategori komoditas yang bersifat inelastis, maka konsekuensinya adalah: jika komoditas ini mengalami kenaikan harga, maka pendapatan total (total revenue) yang akan didapatkan oleh para penjual komoditas ini (produsen) akan semakin tinggi. Oleh karena itu, semakin tinggi harga komoditas ini, maka akan semakin besar pendapatan total yang akan diperoleh para penjualnya. Dalam teori ekonomi mikro, hal itu dapat dilihat dengan menggunakan rumus penghitungan Pendapatan Total sebagai berikut:

TR = P X Q

TR (Total Revenue) adalah pendapatan total. P (Price) adalah harga dari barang yang dijual. Q (Quantity) adalah jumlah barang yang diminta. Maka, dengan menggunakan ilustrasi kurva permintaan seperti di atas kita dapat melihat perubahan total pendapatan yang akan diperoleh jika komoditas yang bersifat inelastis tersebut mengalami kenaikan harga.

Apa makna dari semua itu? Secara mudah kita dapat menyimpulkan bahwa jika sumber daya alam itu dikuasai oleh pihak-pihak yang sangat rakus akan perolehan pendapatan yang besar, maka komoditas ini akan terus-menerus direkayasa (dengan menggunakan berbagai cara tentunya) agar komoditas ini senantiasa mengalami kenaikan harga.

Untuk melihat ada atau tidaknya rekayasa di balik kenaikan harga ini, secara mudah dapat dengan melihat apakah ada kenaikan permintaan terhadap komoditas ini atau tidak. Jika permintaan terhadap komoditas ini relatif tetap, maka terjadinya kenaikan harga komoditas ini dapat dikatakan sebagai kenaikan harga yang tidak wajar. Kemungkinan besar adalah akibat rekayasa dari pihak-pihak tertentu. Jika hal ini benar-benar terjadi, berarti akan menjadi malapetaka bagi dunia, terutama bagi rakyat jelata secara keseluruhan.

Sumber Daya Alam dalam Tinjaua Ekonomi Makro

Untuk melengkapi tinjauan dari aspek ekonomi ini, maka nilai strategis dari sumber daya alam ini selanjutnya dapat kita perluas lagi sudut pandangnya dalam skala ekonomi makro. Hal pertama yang harus kita fahami adalah bahwa SDA merupakan bagian penting dari faktor produksi, seperti dalam komoditas pertambangan, energi, hutan dsb. Dalam era industri seperti sekarang ini, kebutuhan terhadap SDA ini sangat besar, terutama sumber daya energi. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa keberadaan SDA ini akan memiliki pengaruh secara langsung terhadap biaya produksi secara agregat.

Oleh karena itu, naik turunnya harga dari komoditas SDA ini akan berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap naik turunnya biaya produksi. Selanjutnya, naik turunnya biaya produksi ini tentu juga akan berpengaruh langsung terhadap naik turunnya produksi nasional secara agregat. Dengan menggunakan pendekatan kurva AS-AD, kita dapat mengetahui bagaimana dampak yang akan ditimbulkan terhadap kondisi perekonomi secara makro, jika harga komoditas SDA ini mengalami kenaikan.

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan dengan gamblang bahwa apabila harga komoditas SDA mengalami kenaikan, maka secara ekonomi makro akan mengakibatkan terjadinya inflasi, yaitu harga-harga secara umum mengalami kenaikan, sekaligus di sisi lain akan meyebabkan pendapatan rakyat di negeri itu mengalami penurunan, alias rakyat akan menjadi semakin miskin.

Sumber Daya Alam dalam Tinjauan Sistem Ekonomi

Setelah kita memahami seluruh uraian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pembahasan sumber daya alam tidak bisa hanya berhenti pada wilayah bagaimana cara memanfaatkannya secara efektif dan efisien semata, sebagaimana pembahasan yang selama ini dilakukan. Mengingat posisi strategis dari sumber daya alam bagi keberlangsungan ekonomi umat manusia secara keseluruhan, maka pembahasan seharusnya lebih kita fokuskan kepada persoalan yang paling fundamental, yaitu menyangkut keberadaan dari sumber daya alam itu sendiri.

Untuk keperluan pembahasan ini, kita harus memahami terlebih dahulu bahwa di dalam teori ekonomi konvensional, pembahasan bagaimana manusia dapat melakukan pengalokasian sumber daya secara efektif dan efisien, akan dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sedangkan pembahasan tentang siapa dan bagaimana penguasaan atau kepemilikan terhadap sumber daya, akan dimasukkan dalam pembahasan sistem ekonomi.

Di dalam literatur ekonomi konvensional, sistem ekonomi yang ada di dunia ini hanya di bedakan menjadi dua, yaitu sistem ekonomi pasar dan sistem ekonomi komando. Sistem ekonomi pasar memiliki pandangan bahwa seluruh sumber daya yang ada di bumi ini penguasaannya atau kepemilikannya diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas. Sistem ini lebih dikenal dengan sistem ekonomi liberalisme atau kapitalisme. Sedangkan sistem ekonomi komando memandang bahwa penguasaan atau kepemilikan sumber daya yang ada di bumi ini harus dikendalikan sepenuhnya oleh negara. Sistem ini lebih dikenal sebagai sistem ekonomi sosialisme atau komunisme.

Setelah runtuhnya Uni Soviet, praktis keberadaan sistem ekonomi sosialisme sudah ditinggalkan, kecuali oleh beberapa negara kecil yang masih setia menggunakannya. Oleh karena itu, saat ini sistem ekonomi yang menguasai dunia tinggal satu, yaitu sistem ekonomi kapitalisme. Hampir tidak ada negara di dunia ini yang tidak menggunakan sistem ekonomi ini, termasuk Indonesia tentunya.

Jika kita mau merunut kembali perjalanan sejarah penerapan sistem ekonomi yang pernah berlangsung di Indonesia, maka kita dapat menyimpulkan bahwa penerapan sistem ekonomi kapitalisme di Indonesia semakin lama semakin “kaffah”, terutama setelah Indonesia memasuki era reformasi. Konsekuensi dari semakin kaffahnya penerapan ekonomi kapitalisme ini tentu akan berdampak langsung terhadap penguasaan berbagai sumber daya alam yang ada di negeri ini.

Sebagaimana prinsip dari mekanisme pasar bebas, maka siapa yang berhak untuk menguasai, bahkan memiliki segenap sumber daya alam di negeri ini? Jawabnya akan diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, siapa yang telah memenangkan kompetisi pasar bebas ini, jawabannya sangat mudah ditebak. Mereka itu tidak lain adalah para kapitalis yang memiliki modal besar, baik para kapitalis dalam negeri maupun luar negeri. Jika dua kelompok kapitalis tersebut dibandingkan, ternyata kaum kapitalis luar negeri-lah yang menang, dalam arti merekalah yang lebih banyak menguasai sumber daya alam di Indonesia.

Nah, dari sinilah sesungguhnya sumber dari segala sumber permasalahan tersebut terjadi. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, jika penguasaan sumber daya alam itu jatuh ke tangan manusia-manusia yang rakus, maka parade kenaikan harga komoditas SDA akan senantiasa menjadi tontonan yang akan selalu menghiasi berita-berita kita. Sebab, semua itu sudah menjadi konsekuensi logis sebagaimana yang telah kita bahas dalam tinjauan ekonomi di atas.

Sedangkan dampak dari kenaikan harga komoditas ini-pun sudah dapat kita fahami bersama, rakyat jelatalah yang akan menjadi korbannya. Jika hal ini dibiarkan berlangsung terus-menerus, maka Indonesia sebagai produsen SDA dunia yang sangat besar, rakyatnya benar-benar akan mengalami nasib laksana “ayam mati di atas tumpukan beras”.

Dengan demikian, jika kita masih mengharapkan adanya solusi yang tuntas terhadap permasalahan ini, maka kita sudah tidak bisa lagi mengharapkan solusi-solusi yang hanya ada dalam wilayah ilmu ekonomi semata. Solusi yang dibutuhkan seharusnya adalah solusi yang lebih bersifat fundamental, yaitu solusi yang mengarah pada terjadinya perubahan pada sistem ekonomi-nya.

Namun demikian, jika kita mau merubah sistem ekonomi mengikut kepada literatur ekonomi konvensional yang ada, maka kemungkinan yang terjadi adalah mengubah sistem ekonomi kapitalisme yang ada dirubah kepada sistem ekonomi sosialisme. Jika hal itu yang terjadi, maka sesungguhnya hal itu ibarat ingin keluar dari mulut buaya untuk masuk ke dalam mulut singa. Setali tiga uang. Oleh karena itu, bagi kita tidak ada peluang lain, kecuali kita harus mau menengok kepada alternatif sistem ekonomi yang lain, yaitu sistem ekonomi yang tidak masuk dalam kategori perbincangan teori ekonomi konvensional. Sistem ekonomi tersebut tidak lain adalah sistem ekonomi Islam.

Sumber Daya Alam dalam Perspektif Islam

Jika kita hendak memasuki wilayah pembahasan sistem ekonomi, maka pembahasan awal yang paling penting untuk dijawab adalah menyangkut pandangannya terhadap keberadaan seluruh sumber daya yang ada di dunia ini. Demikian juga dalam pembahasan sistem ekonomi Islam, kita harus memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan sistem ekonomi Islam dalam memandang masalah sumber daya ini.

Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, harta kekayaan yang ada di bumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman sistem ekonomi kapitalisme. Sebaliknya juga tidak seperti dalam pandangan sistem ekonomi sosialisme, yang memandang bahwa harta kekayaan yang ada di bumi ini harus dikuasai oleh negara. Di dalam sistem ekonomi Islam, status kepemilikan terhadap seluruh harta kekayaan yang ada di bumi ini dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu:

Pertama: Kepemilikan individu, yaitu hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi (iwadh) dari barang tersebut.

Kedua: Kepemilikan umum, yaitu ijin Asy-Syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda.

Ketiga:Kepemilikan negara, yaitu harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik individu, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum.

Dari pembagian kepemilikan dalam ekonomi Islam tersebut, maka yang menjadi pertanyaan adalah, dimana posisi sumber daya alam seperti pertambangan, energi, hutan, air dsb? Jawabnya adalah masuk kategori yang kedua, yaitu kepemilikan umum. Pendapat ini dapat difahami berdasarkan pada dalil Hadits yang berasal dari Imam At-Tirmidzi yang meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasul untuk mengelola tambang garamnya, lalu Rasul memberikannya. Setelah dia pergi, ada seorang laki-laki dari majlis tersebut bertanya:

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.

Ma’u al-‘iddu adalah air yang tidak terbatas jumlahnya. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya tidak terbatas. Hadits ini menjelaskan bahwa Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh. Hal itu menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam jika tambangnya kecil. Namun, tatkala beliau tahu bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang besar (seperti air yang mengalir), maka beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, berarti tambang tersebut merupakan milik umum.

Dalam hadits tersebut, yang dimaksudkan bukan hanya garamnya itu sendiri, melainkan tambangnya. Hal itu berdasarkan bukti, bahwa ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut tidak terbatas jumlahnya, maka beliau mencegahnya, sementara itu beliau sejak awal sudah mengetahui bahwa itu merupakan garam yang diberikan kepada Abyadh. Dengan demikian, pencabutan tersebut bukan karena garam, tetapi karena tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Abu Ubaid memberi komentar terhadap Hadits ini dengan penjelasan sebagai berikut:

“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.

Apabila garam tersebut termasuk dalam kategori tambang, maka pencabutan kembali Rasul terhadap pemberian beliau kepada Abyadh tersebut dianggap sebagai illat ketidakbolehan dimiliki individu, di mana garam tersebut merupakan tambang yang tidak terbatas jumlahnya, bukan karena garamnya itu sendiri yang tidak terbatas jumlahnya. Dari hadits di atas nampak jelas bahwa illat larangan untuk tidak memberikan tambang garam tersebut adalah karena tambang tersebut mengalir, yakni tidak terbatas.

Lebih jelas lagi berdasarkan riwayat dari Amru bin Qais, bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam, di mana beliau mengatakan: “ma’danul milhi” (tambang garam). Maka dengan meneliti pernyataan ahli fiqih, menjadi jelaslah bahwa mereka telah menjadikan garam termasuk dalam kategori tambang, sehingga hadits ini jelas terkait dengan tambang, bukan dengan garam itu sendiri secara khusus.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan: “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadits dari Abyadh, melainkan mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal adalah terbatas, sehingga boleh diberikan. Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh dan tidak boleh diartikan sebagai pemberian tambang secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul terhadap tambang yang telah beliau ketahui bahwa tambang tersebut mengalir dan besar jumlahnya. Jadi jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.

Hukum tambang yang tidak terbatas jumlahnya adalah milik umum, juga meliputi semua tambang, baik tambang yang nampak yang bisa diperoleh tanpa harus susah payah, yang bisa didapatkan oleh manusia, serta bisa mereka manfaatkan, semisal garam, antimonium, batu mulia dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja dan susah payah semisal tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak tanah, maka semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.

Sedangkan menurut pendapat Al-‘Assal & Karim dengan mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan:

“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.

Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus, maka barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Sedangkan untuk SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti sumber daya air, sumber daya energi, sumber daya hutan dsb, maka ada dalil lain yang menunjukan bahwa sumber daya itu masuk kategori kepemilikan umum.

Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb). (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Dalam Hadits di atas, selain menyebut air, padang rumput, Rasul SAW juga menyebut lafadz api, yang dimaksudkan adalah energi, seperti: listrik, BBM, gas, batubara, nuklir dsb. Dengan demikian, berbagai sumber daya yang disebut dalam Hadits di atas adalah masuk dalam kategori kepemilikan umum. Apa konsekuensinya? Konsekuensinya akan dibahas dalam politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Politik Ekonomi Sumber Daya Alam Islam

Setelah kita memahami bahwa sumber daya alam ternyata masuk dalam kategori kepemilikian umum, maka kita harus memiliki pandangan dengan tegas bahwa rakyatlah yang sesungguhnya menjadi pemilik hakiki sumber daya tersebut. Kepemilikan ini tidak bisa berpindah lagi, baik berpindah kepada negara, kepada swasta, apalagi kepada swasta luar negeri.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, jika sumber daya alam termasuk kepemilikan umum, siapa yang harus mengelolanya? Jawaban menurut perspektif politik ekonomi Islam adalah negara. Namun, yang tetap harus diingat adalah bahwa tugas negara hanyalah mengelola, bukan memiliki. Tanggung jawab negara adalah mengelola seluruh sumber daya alam itu untuk digunakan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyatnya.

Bagaimana jika negara menjual komoditas tersebut kepada rakyatnya? Jawaban dari pertanyaan ini dapat dilihat dari kelanjutan Hadits di atas. Dari Hadits di atas ada kalimat tambahan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Anas dari Ibnu Abbas, yang berbunyi: wa tsamanuhu haromun (dan harganya adalah haram). Maknanya adalah mengambil tsaman yaitu keuntungan dari harga yang diambil dengan menjual ketiga komoditas tersebut hukumnya adalah haram. Ketentuan tersebut masih dengan catatan, jika dalam pengelolaan tersebut negara harus terkena beban biaya produksi, maka negara bisa menjual komoditas tersebut kepada rakyat dengan harga sebatas beban biaya produksi tersebut.

Sebagai contoh adalah sebagaimana yang telah dikalkulasi oleh Kwik Kian Gie (Mantan Menko Ekuin) terhadap harga beban biaya produksi BBM di Indonesia. Menurut Kwik, biaya pemompaan (lifting), pengilangan dan transportasi, dari minyak mentah sampai menjadi BBM yang siap dijual di pompa-pompa bensin, ternyata hanya sebesar 10 dolar AS per barel. Jika nilai tukar rupiah adalah Rp. 10.000 per dolar AS, maka biaya produksi hanya sebesar Rp. 630 per liternya (1 barel sama dengan 150 liter).

Dengan demikian, jika ketentuan ekonomi Islam ini diterapkan, maka rakyat Indonesia bisa menikmati harga bensin sebesar Rp. 630 per liternya. Jika untuk kebutuhan konsumsi rakyatnya masih ada sisa, maka negara dapat mengekspornya dengan harga sebagaimana harga minyak dunia, kemudian keuntungannya harus diberikan kembali kepada rakyatnya, sebagai pemilik hakiki dari komoditas tersebut. Pengembalian keuntungan tersebut dapat diberikan dalam bentuk yang tidak langsung, seperti dalam wujud pendidikan dan kesehatan yang gratis. Demikian juga, pengembalian itu juga dapat diberikan dalam bentuk yang langsung, seperti untuk mencukupi kebutuhan pokok dari sebagian rakyatnya, jika memang masih ada yang miskin dan kekurangan.

Jika hal ini benar-benar dapat diwujudkan di negeri Indonesia ini, maka bukan tidak mungkin jaman keemasan Islam akan terulang kembali. Kita tentu masih ingat bagaimana kemakmuran yang terjadi di jaman kekhilafahan Umar bin Khattab. Umar pernah mengutus Muadz untuk memungut zakat dari penduduk Yaman, kemudian memerintahkan untuk membagikannya kembali kepada penduduk yang berhak di wilayah Yaman tersebut. Namun, ternyata Muadz harus menyerahkan zakat yang dipungut dari penduduk Yaman ke kas Baitul Mal (di Madinah), karena Muadz sudah tidak menjumpai lagi ada penduduk yang miskin di wilayah Yaman tersebut.

Kondisi itu juga terjadi dimasa kekhilafahan cucu Umar bin Khattab, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Yahya bin Said (petugas kekhilafahan) pernah mengalami kesulitan untuk membagi zakat di wilayah Afrika, karena sudah tidak dijumpai lagi orang-orang yang miskin di sana. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada masa itu tidak hanya di Afrika, namun benar-benar telah meliputi seluruh wilayah kekhilafahan.

Ketika petugas yang diutus Khalifah sudah tidak menemukan mustahik zakat lagi, mereka kemudian diperintahkan untuk mencari orang yang masih memerlukan tambahan modal, untuk diberi tambahan modal secara cuma-cuma. Ternyata orang yang masih membutuhkan tambahan modal sudah tidak ada. Maka, petugas itu kemudian diperintahkan untuk mencari orang yang masih dililit hutang, untuk dilunasi hutang-hutangnya. Ternyata penduduk yang masih punya hutang juga sudah tidak ada. Selanjutnya petugas itu diperintahkan untuk mencari orang yang masih kesulitan untuk menikah karena tidak mampu membayar maharnya, untuk dibayarkan maharnya. Ternyata kelompok ini juga sudah tidak ditemukan lagi. Posisi keuangan dari Kas negara pada masa itu senantiasa dalam keadaan yang melimpah ruah dipenuhi dengan harta. Fenomena itu memang hanya dapat dijumpai di negeri yang “super makmur” tersebut.

Keadaan tersebut ternyata terus berlangsung dari masa ke masa selama 1300 tahun sepanjang jaman keemasan kekhilafahan Islam. Tidak pernah dijumpai sekolah maupun rumah sakit yang membayar. Sains dan teknologi maju dengan sangat pesat. Bagi mereka yang memiliki karya, maka negara akan mengganti emas seberat buku yang menjadi hasil karyanya. Para ulama’nya-pun memiliki ilmu dalam berbagai disiplin, baik bidang aljabar, kimia, biologi, fisika, kedokteran, maupun dalam ilmu fiqh itu sendiri. Mereka tidak pernah kenal lelah dalam belajar, mengajar dan berkarya. Mereka tidak perlu dipusingkan dengan beban untuk membayar sekolah atau beban beratnya biaya hidup untuk dirinya maupun keluarganya. Itulah indahnya kehidupan Islam.

Mengapa semua itu bisa terwujud? Sekali lagi, jawabnya tentu saja akan kembali kepada cara pengelolaan SDA yang benar. Dengan pengelolaan yang benar, diharapkan negara akan memiliki sumber-sumber penerimaan kas negara (Baitul Mal/APBN) yang besar, tanpa harus memungut pajak dari rakyatnya seperserpun!

Oleh karena itu, menjadikan sumber daya alam, baik pertambangan maupun energi, sebagai suatu komoditas yang dengan seenaknya bisa diperjualbelikan kepada rakyat, sesungguhnya merupakan tindakan yang menzalimi rakyat itu sendiri. Apalagi dijual dengan harga yang sangat mahal, hal itu tentu lebih menzalimi lagi.

Demikian juga, apabila negara memberi kesempatan bagi sektor swasta (terlebih lagi swasta asing) untuk menguasai sumber daya alam tersebut, hal itu dapat dikategorikan sebagai pengabaian amanah yang diberikan rakyat kepada negara untuk mengelola sumber daya alam demi kepentingan seluruh rakyatnya. Padahal Allah SWT dan Rasulullah SAW sangat mengecam tindakan zalim dan tindakan yang mengabaikan amanah tersebut.


Oleh karena itu, sebagai negeri penghasil tambang dan energi yang melimpah ruah seperti Indonesia ini tidak ada alasan lagi untuk mengatakan kekuarangan SDA, termasuk juga sumber daya energi sebagaimana yang dialami oleh negara-negara lain di dunia ini. Tentu saja dengan satu catatan bahwa penguasaan SDA tersebut benar-benar berada di tangan yang benar dan peruntukannya-pun kepada pihak yang benar. Dengan demikian, seharusnya Indonesia terus mengalami surplus SDA, termasuk surplus energi. Jika sampai terjadi kekurangan energi untuk konsumsi rakyatnya, masih banyak sumber energi alternatif lainnya, terutama yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik. Tidak harus selalu mengandalkan energi fosil yang cadangannya semakin menipis tersebut.

Kesimpulan

Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat memberi kesimpulan sekali lagi bahwa, persoalan yang paling krusial menyangkut permasalahan sumber daya alam di negeri Indonesia ini sesungguhnya bukan terletak pada masalah langka atau tidaknya sumber daya ini, bukan juga pada masalah mahal atau tidaknya harga sumber daya alam ini di tingkat dunia. Termasuk juga, bukan masalah sulit atau tidaknya untuk mendapatkannya. Akan tetapi, semuanya hanya bermuara kepada keputusan politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya itu sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah pengelolaannya akan mengabdi kepada kepentingan segelintir kaum kapitalis ataukah akan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemilik hakiki dari SDA tersebut?

Jika kita dapat mengembalikan posisi kepemilikan sumber daya alam kepada pemiliknya yang hakiki, yaitu rakyat, sedangkan tugas negara hanyalah mengelolanya untuk kepentingan seluruh rakyatnya, maka Insya Allah akan terurailah segenap persoalan benang ruwet dari sumber daya alam di negeri ini.


Tulisan ini merupakan makalah yag disampaikan penulis dalam Seminar Ekonomi Islam tentang Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Ekonomi Islam FSQ Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Sabtu 31 Mei 2008 di Aula Graha Abdi Persada Banjarmasin.

Referensi :
Ir. Dwi Condro Triono adalah pengurus DPD I HTI Yogyakarta, pengamat ekonomi Islam dan dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta, dan sedang menyelesaikan program S3 di Uiversitas Kebangsaan Malaysia.

Al-‘Assal, Ahmad Muhammad & Fathi Ahmad Abdul Karim, 1999, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Alih Bahasa Imam Saefudin, Pustaka Setia, Bandung, Cet. I.

Al-Wa’ie. Krisis di Ladang Minyak. No. 92, Tahun VIII, 1-30 April 2008.

An Nabhani, Taqiyyudin. 1963. Muqaddimah Dustur. Tanpa Tempat Penerbitan. Tanpa Penerbit.

An Nabhani, Taqiyyudin. 1990. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Beirut : Darul Ummah. Cetakan IV.

Boediono. 1992. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta.

Boediono. 1999. Ekonomi Makro. BPFE. Yogyakarta.

Chapra, Umar. 2000. Sistim Moneter Islam. Gema Insani Press. Jakarta.

Deliarnov. 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Rajawali Press. Jakarta.

Hamid, Edy Suandi. Minyak dan Ketahanan Energi. Kedaulatan Rakyat, Kamis 13 Maret 2008.

Iskandar, B. Arief. Kesejahteraan Rakyat. Al-Wa’ie, No. 92, Tahun VIII, 1-30 April 2008.

Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D., 1999, Makroekonomi, Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.

Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D., 1999, Mikroekonomi, Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.

Sukirno, Sadono. 2000. Makroekonomi Modern – Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Rajawali Press. Jakarta.

Tambunan, Tulus, 1998, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Zallum, Abdul Qadim. Al Amwal fi Daulatil Khilafah. Beirut : Darul Ilmi lil Malayin. Cetakan I. 1983.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar